Kewajiban
Berjilbab
A. Sabab Nuzul
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke
seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (TQS
al-Ahzab [33]: 59)
Dikemukakan
Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Abi Malik: Dulu isteri-isteri Rasulullah SAW keluar rumah untuk
keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan
menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, “Kami hanya
mengganggu hamba sahaya saja.” Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar
mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.
B.
Pengertian kata Jilbab
Allah
SWT berfirman:
“Yâ
ayyuhâ an-Nabiyy qul li azwâjika wa banâtika wa nisâ’ al-Mu’mînîn”
“Hai
Nabi, katakanah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri
orang Mukmin). Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW.”
Allah
SWT memerintahkan Nabi SAW untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para
Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah:
“yudnîna
‘alayhinna min jalâbîbihinna”
“hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka)”
Kata
jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian
yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab.
1.
Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ’ (mantel) yang menutup
tubuh dari atas hingga bawah.
2.
Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ’ itu seperti as-sirdâb
(terowongan).
3.
Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi jilbab
adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.
4.
Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang
longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun
lainnya.
5.
Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ’ah (baju kurung) yang
menutupi wanita.
6.
Al-qamîsh (baju gamis).
7.
Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang
dimaksud itu tidak salah.
8.
Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian
yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu ‘Athiyah
ra. :
Rasulullah
SAW memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang
menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita
pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat
menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah,
salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?” Rasulullah SAW
menjawab, “Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.” (HR
Muslim).
Hadis
ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika
hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud
dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah.
Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak
mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah.
Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori
sebagai jilbab.
Kata
yudnîna merupakan bentuk mudhâri’ dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata
danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa
diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah).
Meskipun
kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula
sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.
Berkaitan
dengan gambaran yudnîna ‘alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para
mufassir.
1.
Menurut sebagian mufassir, idnâ’ al-jilbâb (mengulurkan jilbab)
adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak
darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah
Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,dan as-Sudi. Demikian juga dengan
al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.
2.
Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas
dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab
itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas
dalam riwayat lain dan Qatadah.
3.
Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.
4.
Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang
ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan
mengulur ke bawah menutupi tubuhnya,sementara bagian di atasnya ditutup dengan
khimâr (kerudung)yang juga diwajibkan (QS. an-Nur [24]: 31).
Pendapat
ini diperkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah
menghadiri shalat Id bersama Rasulullah SAW. Setelah shalat usai, Beliau lewat
di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di
situ Beliau bersabda, “Bersedakahlah karena kebanyakan dari kalian adalah kayu
bakar neraka.” Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum
wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf’â al-khaddayn) bertanya, “Mengapa
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak mengadu dan ingkar
kepada suami.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Deskripsi
Jabir ra. bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW kedua
pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis
ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan
jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu
tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau
penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah SAW akan menegur wanita itu dan
melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat
yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan
umum.
Penafsiran
ini juga sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. an-Nur (24) ayat 31:
Wa
lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ
“Dan
janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya.”
Menurut
Ibnu Abbas, yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah
pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama.
Pendapat
yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu
asy-Sya’tsa’, adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,dan al-Auza’i. Demikian juga
pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-’Arabi.
Meskipun
ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat
bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk
di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW :
“Siapa
saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada
Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian
kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi,
“Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah SAW bersabda lagi,
“Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR
at-Tirmidzi).
Berdasarkan
hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua
telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya
menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah
yang dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah
bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang panjang dan
digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba’dahu (Itu disucikan oleh apa yang
sesudahnya).
Selanjutnya
Allah SWT berfirman:
Dzâlika
adnâ an yu’rafna falâ yu’dzayn
“Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak
diganggu.”
Maksud
kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ
berarti aqrab (lebih dekat).
Yang
dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa
statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan
dibedakan dengan budak.
Karena
diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut
dicatat, hal itu bukanlah ‘illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban
jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak
ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya,
kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak,
tidaklah berubah.
Ayat
ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra
Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan
bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan
perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.
C. Mendatangkan Kebaikan
Ayat
ini secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan
wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya.
Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif
sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang
terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh
karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu
harus sama. Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga
tak harus sama.
Penggunaan
jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan
tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan
birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut
pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian,
kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan
manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat
dilarang oleh Islam.
Fakta
menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan
pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan.
Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3
perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya 78 wanita
diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya!24 Realitas
ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an yu’rafna falâ
yu’dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga
mereka tidak diganggu).
Bagi
wanita, jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat
yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya,
kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika
wanita tampil ‘terbuka’ dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada
fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita dipandang
sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.
Walhasil,
penutup ayat ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban
jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu
bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau
disayangi-Nya?!
-00o00-
Referensi
:
1.
Majalah Al-Wai’e sebagai Sumber Tulisan
2.
As-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1990), 414-415.
3.
Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 542.
4.
Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 6 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 112.
5.
Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 156; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3
(Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, ), 382; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol.
2 (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2001), 355; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr
al-Wadhîh (Dar at-Tafsir, 1992), 625.
6.
Az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 3, 542.
7.
Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 11 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 106; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr
al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 482;
al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993),
469; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 437.
8.
Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 6
(Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 135.
9.
Al-Baqa’i, Nazhm Durar, 135.
10. Azl-Zamakhsyari,
al-Kasyâf, vol. 3, 542; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 11 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994), 264;
11. Al-’Ajili,
al-Futûhât al-Ilâhiyah, vol. 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t. ), 102.
12. Ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1992), 231-231.
13. Al-Alusi,
Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,
vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 240.
14. Al-Jazairi,
Aysâr al-Tafâsîr li Kalm al-’Aliyy al-Kabîr, vol. 4 (tt: Nahr al-Khair, 1993),
290,291; al-Nasafi, madârik al-Tanzîl, vol. 2, 355 al-Baydhawi, Anwâr al-Tanz
lî Asrâr al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 252.
15. Al-Alusi,
Rûh al-Ma’ânî, vol. 11, 264; al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13,
156; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 10, 231
16. Al-Quthubi,
al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 13, 156.
17. Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997),
637
18. Said
Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 8 (tt: Dar as-Salam, 1999), 4481.
19. Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
20. Ibnu
Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 3, 253.
21. As-Syatqithi,
Adhwâ’ al-Bayân fî Idhâh al-Qur’an, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 512;
al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 3, 287.
22. Ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 301; al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 360; Ibnu al-’Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3, 382.
23. Al-Qinuji,
Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 11 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami,
1989), 143.
24. Ibnu
Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 197; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb
al-’Azîz, vol.4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 399.
25. Ismail
Adam Pathel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, terj. Abu Faiz (Bogor: Pustaka
Thoriqul Izzah, 2005).
"Antara Syari'ah dan Fiqh
BalasHapus(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)
Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat.
Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."
*Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html
Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:
1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).
-Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013
suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html
JILBAB MENURUT BUYA HAMKA
Menurut Buya HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'
Berikut adalah kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (selengkapnya lebih jelas dan tegas dapat dibaca pada Tafsir Al-Azhar, khususnya beberapa Ayat terkait, yakni Al-Ahzab: 59 dan An-Nuur: 31):
'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,
"Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"
Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.
Kesopanan Iman
Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian?
Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?
Al-Qur'an tidaklah masuk sampai kepada soal detail itu,
Al-Qur'an bukan buku mode!
Al-Qur'an tidak menutup rasa keindahan (estetika) manusia dan rasa seninya.
Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya.
Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.
Sehingga kalau misalnya perempuan Indonesia, karena harus gelombang zaman, berangsur atau bercepat menukar kebaya dengan kain batiknya dengan yurk dan gaun secara Barat, sebagaimana yang telah merata sekarang ini, Islam tidaklah hendak mencampurinya.'
MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA
Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA
mui.or.id/mui/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html
Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."
kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf
"Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."
disdik-agam.org/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau
"... menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."
nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx
'Rasulullah SAW bersabda: "Bacalah Al-Qur'an selama hatimu bersepakat, maka apabila berselisih dalam memahaminya, maka bubarlah kamu." (jangan sampai memperuncing perselisihannya).' (Imam Bukhari Kitab ke-66 Bab ke-37: Bacalah oleh kalian Al-Qur'an yang dapat menyatukan hati-hati kalian).